WELCOME TO FOREST CONSERVATION

SAVE OUR FOREST
WILL
SAVE OUR WORLD

SAVE OUR FOREST
FOR
A BETTER FUTURE

Sabtu, 24 Januari 2009

Hutan Hancur, 2 Harimau Sumatera Terkam Pencari Getah

JAMBI | SURYA Online - Petugas lapangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi menggunakan bom karbit untuk menghalau harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang menerkam pencari getah pohon jelutung hingga tewas, Sabtu (24/1/2009) pagi.

Kepala BKSDA Provinsi Jambi, Didy Wurjanto ketika dihubungi di Jambi, mengatakan, anak bauhnya sedang di lokasi kejadian tewasnya pencari getah bernama Raba’i bin Thalib (43), warga Desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpe Ilir, Kabupaten Muarojambi.

Ia diterkam dua harimau di kawasan hutan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Putra Duta Indahwood (PDI). Peristiwa mengenaskan itu terjadi pada Sabtu pukul 03:00 WIB saat korban keluar dari pondok untuk buang air kecil. Akibat terkaman binatang buas itu, korban mengalami luka cukup serius pada bagian kepala, leher dan tulang rusuk kanannya patah.

“Untuk menangkap atau menembak harimau itu dengan peluru bius agak sulit, karena sudah masuk hutan. Satu-satunya jalan mengusir satwa langka itu dengan bom karbit agar tidak berkeliaran atau masuk ke lahan perkebunan petani,” katanya.

Ia memperkirakan, harimau yang menerkam Raba’i berusia tua yang saat ini mulai kesulitan mencari makan di hutan akibat banyaknya hutan di Jambi berubah fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Lokasi kejadian itu merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Berbak (TNB) yang selama ini menjadi tempat berkembang biaknya populasi harimau Sumatera. Namun TNB kini juga mengalami kerusakan atau sebagian gundul akibat perambahan dan pembalakan liar.

Harimau Sumatra di Jambi saat ini (di luar Taman Nasional Kerinci Seblat/TNKS) diperkirakan populasinya tinggal 20 ekor yang terancam punah akibat terdesak oleh penggundulan hutan dan maraknya perburuan liar. “Berdasarkan hasil survei pada 2006, populasi harimau Sumatra di Jambi tinggal 60 ekor, namun saya memperkirakan kini tinggal 20 ekor,” ujarnya.

Ia menjelaskan, degradasi hutan menjadi penyebab utama kian menurunnya populasi harimau Sumatra di Jambi, yang sebagian besar berusia tua dan tidak kompetitif lagi melakukan penjelajahan dari satu kawasan hutan ke kawasan lain untuk mencari makan.

Akibatnya satwa-satwa itu masuk ke perkebunan dan perkampungan dan memangsa apa saja yang dilihat untuk mempertahankan hidup. BKSDA Jambi mengharapkan pemerintah pusat dan daerah dapat membangun kawasan khusus habitat harimau Sumatra, sehingga korban jiwa manusia akibat diterkam satwa itu tidak terulang, sekaligus menyelamatkan populasi harimau itu dari ancaman kepunahan.

Ia mengimbau semua lapisan masyarakat agar menjaga atau tidak merusak hutan, karena hutan memberikan kehidupan bagi manusia, flora dan fauna, serta mencegah banjir dan kekeringan. ant

CIRI DAN JEJAK HARIMAU JAWA SERTA HABITATNYA

Harimau jawa atau javan tiger ( Panthera tigris sundaica ) adalah satwa endemik pulau jawa atau dengan kata lain adalah satwa yang hanya dijumpai di pulau Jawa. Status harimau jawa kini menurut CITES ( Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) menyatakan bahwa keberadaan harimau jawa telah punah pada tahun 1996. Jika pernyataan punah didasarkan pada visualisasi harimau jawa ( Foto maupun Video ) maka berdasarkan foto yang dibuat oleh hoogerwerf pada tahun 1938, selama 2 kali masa hidupnya, maka dengan umur rerata harimau jawa selama 25 tshun maka dapat dikatakan punah pada tahun 1988, bukan pada awal 80-an menurut banyak ahli. Sedangkan apabila kita mengacu pada foto terakhir pada tahun 1957 di Taman Nasional Meru Betiri, walaupun dalam kondisi terbunuh, berarti dengan 2 kali masa hidupnya, didapatkan angka tahun 2007 bahwa harimau jawa dikatakan punah. Selain itu faoto di TNMB tersebut menjadi dasar bagi berbagai pihak bahwa habitat terakhir harimau jawa ada di TN Meru Betiri saja, sehingga dengan pernyataan punah dan habitat terakhir hanya di TNMB menyebabkan banyak peneliti beranggapan bahwa meneliti harimau jawa hanya sia-sia saja, dan penelitian yang dilakukan pun hanya berkutat di TNMB padahal, banyak yang melihat bahwa harimau jawa ditemukan di lokasi lain seperti G. Ijen, G. Slamet , dll. ( terutama penduduk setempat, pecinta alam, pemburu liar). Sehingga keberadaan harimau jawa menjadi “kabur” , sedangkan ancaman pemburuan terhadap satwa ini terus saja terjadi, seperti pernyataan pemburu dalam tulisan Didik Raharyono, menyatakan mereka masih mampu membunuh di atas tahun 1995-an. Sedangkan dalam tulisannya Abdul Hamid menyatakan masih ada sekitar 31 Harimau Jawa terbunuh di tahun 1987. pertanyaan yang timbul kemudian, “ apakah kepedulian kita masih ada terhadap harimau jawa, yang terancam kini? , “ apakah kita hanya terpaku pada pernyataan orang asing yang menyatakan harimau jawa punah, hanya dengan penelitian beberapa bulan , atau tahun, sedangkan masyarakat sekitar hutan yang hidup bertahun- tahun di sekitar hutan masih sering melihatnya, bahkan apakah keyakinan kita kalah dengan keyakinan pemburu yang masih memburu harimau jawa selama bertahun-tahun?”

Akan tetapi masih ada beberapa orang atau organisasi yang menyatakan harimau jawa masih ada, dengan dilakukan penelitian secara terpadu tidak hanya di TNMB, akan tetapi diseluruh jawa, dengan berdasarkan pelaporan masyarakat setempat, dan pemburu yang pernah melihatnya. Penelitian ini unik karena berdasarkan pernyataan bukan ahli, akan tetapi ini menjadi dasar yang kuat karena merekalah yang sehari-harinya berinteraksi dengan harimau jawa.

Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa persebaran habitat harimau jawa (penelitian hingga tahun 2000 oleh berbagai organisasi ), adalah TN Alas Purwo ( 1997 – 2000), TN Meru Betiri ( 1997-2000), G. Merapi Ungup-ungup ( 1999), Djampit- G. Panataran ( 1999), G. Raung – G. Suket ( 1997-1999), TN Baluran – maelang ( 1998 ), G. Lamongan – G. Argopuro ( 1999), Pulau Sempu ( 1990), G. Arjuno – Tretes ( 1994), G. Wilis ( 1993), G. Lawu ( 1996- 1999), Hutan jati peg. Kendeng Utara- Blora ( 1995), G. Muria ( 1998 ), Gunungkidul (wonosari – trenggalek) (2000), G. Ungaran (1997), Pegunungan Dieng ( 1998), G. Slamet ( 1997-2000), Pulau Nusakambangan ( 1994), Leuweng Santjang ( 1998), TN Ujung Kulon ( 1999-2000). Total 20 lokasi menjadi habitat harimau jawa, penelitian ini diatas tahun 1990-an, walaupun tidak mendapatkan visualisasi harimau jawa, akan tetapi mendapatkan jejak-jejak yang dianggap sebagai jejak harimau jawa. Sedangkan dari penelitian lis (2004) di TN Meru Betiri didapatkan sampel rambut harimau jawa yang setelah dilakukan tes DNA positif milik Harimau Jawa.

Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa memahami jejak dan ciri kehadiran hariamau jawa sangat penting jika kita ingin mengetahui keberadaan harimau jawa maupun habitatnya. Jejak dan ciri yang dapat kita tahu antara lain :

  1. Kotoran / Feaces.

  2. Cakaran.

  3. Jejak tapak kaki.

  4. Suara.

Pengalaman dan pengetahuan peneliti sangat penting bagi keberhasilan penentuan keberadaan dan habitat harimau jawa, jika tidak teliti mungkin bisa saja tertukar dengan jejak macan tutul atau macan kumbang.


DAFTAR PUSTAKA

Raharyono, Didik. 2002. Berkawan Harimau Bersama Alam. Jakarta . The Gibbon Foundation.

Hamid, Abdul. 1992. Karakteristik Habitat Harimau Jawa ( Panthera tigris sondaica). Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM.

Jumat, 23 Januari 2009

KLASIFIKASI HARIMAU JAWA ( Panthera tigris sondaica )


Klasifikasi atau pengelompokan makluk hidup sangat penting untuk dilakukan, hal inii dikarenakan, untuk mempelajari suatu jenis species tidak hanya mempelajari species itu saja, akan tetapi juga kerabat-kerabat dekat species tersebut, karena bertujuan untuk mengetahui sifat- sifat yang mirip dengan species yang kita teliti, sehingga peneliti dapat lebih mudah dalam membedakan species yang diteliti dengan species yang tidak diteliti, biasanya kesulitan yang dijumpai adalah ketika suatu ciri species yang kita teliti ternyata sangat mirip dengan kerabat dekatnya di suatu tempat yang sama, sehingga jika kita tidak teliti maka akan salah dalam mengidentifikasi. Misalnya : jejak kaki macan tutul ( Panthera pardus ) dengan harimau jawa ( Panthera tigris sundaica ) di Taman Nasional Meru Betiri ( TNMB ). Jika kita tidak teliti dalam membedakannya maka kita akan salah dalam mengidentifikasi karena kedua jenis tapak kakii ini mirip, hanya berbeda panjang dan lebar, serta kuku yang tercetak, apalagi pengamatan kita menemukan jejak yang tidak utuh, misal saat karnivor tersebut melompat atau terpeleset. Sehingga klasifikasi itu sangat penting bagi peneliti, karena dalam mempelajari klasifikasi, kita juga belajar tentang ciri – ciri hewan yang kita teliti.

Ilmu yang mempelajari klasifikasi atau pengelompokan adalah taksonomi. Taksonomi adalah suatu upaya untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi organisme sehingga dapat memudahkan setiap orang yang berbicara tentang struktur – strukutur yang sama. Pengelompokan – pengelompokan ini didasarkan pada persamaan bagian tubuh yang dimiliki hewan tersebut, dari yang bersifat umum menuju ke kesamaan – kesamaan yang bersifat khusus.

Klasifikasi Harimau Jawa ( Panthera tigris sundaica ) :
· Kingdom : Animalia ( hewan )
· Phylum : Chordata (corda dorsalis)
· Subphylum : Vertebrata ( mempunyai tulang belakang)
· Classis : Mammalia ( mempunyai kelenjar susu )
· Ordo : Carnivora ( pemakan daging )
· Famili : Felicidae ( keluarga kucing)
· Subfamili : Machairodonyinae
· Genus : Panthera ( keluarga macan )
1. Species : Panthera tigris
Sub species : Panthera tigris sundaica ( harimau jawa )

DAFTAR PUSTAKA

Raharyono, Didik. 2002. Berkawan Harimau Bersama Alam. Jakarta . The Gibbon Foundation.

Hamid, Abdul. 1992. Karakteristik Habitat Harimau Jawa ( Panthera tigris sondaica). Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM.


TAMAN NASIONAL DAN ZONASINYA


Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.

Dalam taman nasional terbagi atas berbagai jenis zona – zona. Zona – zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan
menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sedangkan zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasioanl menjadi
zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data,
penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas,
dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat.
Zona – zona di dalam taman nasional antara lain:

a. Zona inti;
b. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan
c. Zona pemanfaatan;
d. Zona lain, antara lain:
1. Zona tradisional;
2. Zona rehabilitasi;
3. Zona religi, budaya dan sejarah;
4. Zona khusus.
Akan tetapi sekurang kurangnya di dalam taman nasional terdiri atas 3 zona, yaitu zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan.

Deskripsi zona-zona di dalam taman nasional :
1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun
fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi,
berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian
Taman nasioanal yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan
pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan
3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya,
yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan
lainnya.
4. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai
ketergantungan dengan sumber daya alam.
5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan,
sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang
mengalami kerusakan.
6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat
situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan
keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
7. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan
telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal
sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Daftar Pustaka
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P. 56 /Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN ZONASI TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

Senin, 19 Januari 2009

TUJUAN PENGELOLAAN SATWA LIAR

Pengelolaan satwa liar yang berhasil sangat ditentukan oleh rumusan tujuan pengelolaan yang jelas. Ini akan menjadi panduan bagi penyusunan rencana pengelolaan beserta kegiatan-kegiatan dan target yang akan dicapai. Kejernihan visi dan pengusaan terhadap masalah dan kebutuhan lokal serta tuntutan dunia internasional merupakan prasyarat utama dalam perumusan goal yang baik dan realistis. Pada garis besarnya goal pengelolaan satwa liar dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu;

  1. Menjaga keanekaragaman dan kemelimpahan jenis-jenis satwa asli, serta pelestarian habitat-habitatnya. Komitmen ini merupakan goal dengan prioritas yang tertinggi dalam pengelolaan satwa liar. Introduksi jenis-jenis eksotik yang membahayakan kelestarian jenis asli dilarang. Restorasi satwa liar dilakukan pada daerah-daerah sebaran alaminya, apabila terjadi kepunahan lokal atau penurunan populasi yang drastis. Konservasi habitat dan perlindungan satwa dari perburuan liar merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk kelestarian satwa langka atau yang dilindungi.

  2. Memberikan anekaragam kemungkinan bagi masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati keindahan satwa liar. Fokus dari goal ini adalah pemanfaatan satwa liar dan habitatnya yang berasaskan kelestarian baik untuk tujuan pendidikan dan penelitian, wisata alam, fotografi dan pemanenan. Pengaturan harus dilakukan terhadap perburuan yang dilakukan untuk kepentingan ekonomi maupun pemenuhan hobi. Termasuk dalam tujuan ini adalah penangkapan satwa hidup untuk tujuan koleksi kebun binatang dan pendidikan.

  3. Mengusahakan kehidupan yang harmonis antara satwa liar dan manusia. Goal yang ingin dicapai adalah pencapaian keseimbangan kebutuhan satwa liar dan manusia. Kegiatan manusia dapat memberikan dampak yang sangat merugikan bagi kemelimpahan, distribusi dan keanekaragaman satwa liar dan habitatnya. Sebaliknya, satwa liar jarang sekali memberikan dampak yang merugikan pada manusia. Apabila ada, dampak yang merugikan tersebut biasanya berkaitan dengan kerugian ekonomi akibat rusaknya tanaman pertanian, dan dampak terhadap kesehatan manusia.

kuliah riset dan manajeman satwa liar


PENGERTIAN HABITAT

Habitat: Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat.

Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.

Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau ”mengkonsumsi” dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi (sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat merupakan sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses satwa memilih komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.

Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al. 1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat diaktakan memiliki kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme tetapi pada demografi populasi secara individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi.

Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980). Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.

Niche: Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat ke mana seseorang harus pergi untuk menemukannya. Sedangkan niche (relung) ekologi merupakan istilah yang lebih luas lagi artinya tidak hanya ruang fisik yang diduduki organisme itu, tetapi juga peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memunkinkan populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertenu secara bersamaan.

Dimensi-dimensi pada niche pokok pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyababkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan tau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.

Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tidih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.

Landskap: Landskap dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan yang heterogen secara spasial yang digunakan untuk mendiskripsikan ciri khas daya tarik (tipe tegakan, tapak, tanah). Masalah serius yang terkait dengan penggunaan istilah landscape adalah landscape biasanya digunakan untuk mengartikan suatu kawasan yang luas (1-100 km2)(Forman dan Gordon, 1986; Davis dan Stoms, 1996). Persepsi landscape untuk satwa kecil berbeda dengan satwa besar. Pengaruh keheterogenan spasial terhadap proses biotik dan abiotik dapat dinyatakan secara virtual dalam beberapa skala spasial, dengan demikian kita tidak menempatkan batasan kawasan dalam pengertian landscape. Meskipun menggambarkan landscape dalam istilah kilometer persegi adalah tepat untuk kegiatan tertententu (seperti menempatkan proyek restorasi dalam konteks suatu kawasan yang luas), menggambarkan landscape dalam istilah meter persegi yang sedikit juga tepat untuk penerapan yang lain (untuk satwa dengan daerah jalajah yang sempit/kecil atau untuk menggambarkan hubungan niche).

Sumberdaya: Semua faktor lingkungan yang memiliki korelasi terhadap distribusi, kelimpahan, kinerja reproduksi suatu species disebut dengan sumber daya (Wiens, 1989a:321). Sumberdaya merupakan faktor abiotik dan abiotik yang digunakan langsung oleh suatu organisme (Morrison, 2002). Perbedaan antara kelimpahan, ketersediaan, dan penggunaan sumber daya harus dibedakan dengan pasti, yang manakah yang secara aktual akan dihitung. Kelimpahan sumber daya merupakan jumlah absolut item (atau ukuran atau volume) dalam suatu area yang ditentukan secara eksplisit, contohnya jumlah satuan pakan dalam 1 ha. Ketersediaan sumber daya merupakan jumlah sumber daya yang secara aktual tersedia untuk satwa (jumlah yang bisa dieksploitasi), contohnya jumlah satuan pakan dalam 1 ha yang mampu dijangkau oleh ungulata. Penggunaan sumber daya merupakan suatu penghitungan jumlah sumber daya yang digunakan secara langsung (dikonsumsi, dipindah) dari suatu kawasan yang ditentukan secara eksplisit, contohnya jumlah satuan pakan dalam 1 ha yang dikonsumsi oleh suatu satwa dalam enam jam periode sampling.


kuliah riset dan menejemen satwa liar

HARIMAU JAWA BELUM PUNAH?

Selasa, 18 November 2008 | 16:38 WIB

BOYOLALI, SELASA — Para pecinta lingkungan meyakini bahwa harimau jawa sudah punah. Namun, peristiwa yang terjadi di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, membuat petugas Balai Taman Nasional Gunung Merbabu bingung. Seorang perempuan tewas dimangsa macan. Saksi yang melihat macan itu menyebut ciri harimau jawa.

Koordinator Polisi Hutan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Eko Novi yang saat dihubungi pada Senin (16/11) berada di Boyolali, mengutarakan, saat ini petugasnya masih belum memiliki referensi soal macan tersebut. Penelitian secara mendetail untuk mengetahui jenis macan tersebut belum bisa dilakukan.

Minggu sore warga sekitar Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, menemukan sesosok mayat perempuan tanpa identitas yang berusia sekitar 30 tahun. Daging paha korban sudah habis hingga menyisakan tulang, sedangkan pakaian korban terkoyak-koyak.

Sehari sebelumnya, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu Untung Suprapto sempat mengutarakan, warga yang menyaksikan macan itu menyebutkan, postur macan tersebut tidak terlalu besar. Tubuhnya ada totol-totol sehingga pihaknya menduga macan ini tergolong macan tutul.

"Namun, ada juga warga yang bilang melihat ada coklat-coklat kulitnya. Saya jadi bingung lagi. Soalnya kalau itu, berarti harimau jawa. Padahal, sudah hampir punah dan hanya ada di Meru Betiri di Jember. Malah jadi bingung," kata Untung.



kompas.com

ENDANGERED SPECIES IN INDONESIA

Threatened Species

Threatened Species: The following list includes all mammals which occur in Indonesia and are rated as Critically Endangered (CR), Endangered (EN) or Vulnerable (VU) in the 2004 IUCN Red List of Threatened Animals.  
Critically Endangered: 
Alpine Woolly Rat (Mallomys gunung). (Endemic to Indonesia.) 
Dwarf Gymnure (Hylomys parvus). (Endemic to Indonesia.) 
Enggano Rat (Rattus enganus). (Endemic to Indonesia.) 
Flores Shrew (Suncus mertensi). (Endemic to Indonesia.) 
Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus). 
Long-footed Water Rat (Leptomys elegans).  
Lowland Brush Mouse (Pogonomelomys bruijni). 
Mentawai Macaque (Macaca pagensis). (Endemic to Indonesia.) 
Silvery Gibbon (Hylobates moloch). (Endemic to Indonesia.) 
Sumatra Water Shrew (Chimarrogale sumatrana). (Endemic to Indonesia.) 
Sumatran Flying Squirrel (Hylopetes winstoni). 
Sumatran Orang-utan (Pongo abelii).  
Sumatran Rabbit (Nesolagus netscheri). (Endemic to Indonesia.) 
Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). 
Western Small-toothed Rat (Macruromys elegans). (Endemic to Indonesia.) 
Endangered: 
Anoa (Bubalus depressicornis). (Endemic to Indonesia.) 
Asian Elephant (Elephas maximus). 
Banteng (Bos javanicus). 
Bartel's Rat (Sundamys maxi). (Endemic to Indonesia.) 
Bawean Deer (Axis kuhlii). (Endemic to Indonesia.) 
Beaufort's Naked-backed Fruit Bat (Dobsonia beauforti). (Endemic to Indonesia.) 
Beccari's Shrew (Crocidura beccarii). (Endemic to Indonesia.) 
Black-spotted Cuscus (Spilocuscus rufoniger). 
Blue Whale (Balaenoptera musculus). 
Bornean Tree Shrew (Tupaia longipes). (Endemic to Indonesia.) 
Celebes Black Macaque (Macaca nigra). (Endemic to Indonesia.) 
Celebes Lesser Shrew Rat (Melasmothrix naso). (Endemic to Indonesia.) 
Celebes Shrew Rat (Crunomys celebensis). (Endemic to Indonesia.) 
Celebes Soft-furred Rat (Eropeplus canus). (Endemic to Indonesia.) 
Eastern Small-toothed Rat (Macruromys major).  
Fin Whale (Balaenoptera physalus). 
Grizzled Leaf Monkey (Presbytis comata). (Endemic to Indonesia.) 
Heavenly Hill Rat (Bunomys coelestis). (Endemic to Indonesia.) 
Indonesian Mountain Weasel (Mustela lutreolina). (Endemic to Indonesia.) 
Insular Horseshoe Bat (Rhinolophus keyensis). (Endemic to Indonesia.)  
Javan Thick-thumbed Bat (Glischropus javanus).  
Javan Warty Pig (Sus verrucosus). (Endemic to Indonesia.) 
Koopman's Pencil-tailed Tree Mouse (Chiropodomys karlkoopmani). (Endemic to Indonesia.) 
Long-beaked Echidna (Zaglossus bruijni). 
Long-headed Hill Rat (Bunomys prolatus). (Endemic to Indonesia.) 
Moor Macaque (Macaca maura). (Endemic to Indonesia.) 
Mountain Anoa (Bubalus quarlesi). (Endemic to Indonesia.) 
(Bornean) Orang-utan (Pongo pygmaeus).  
Otter Civet (Cynogale bennetti). 
Paradox Shrew (Crocidura paradoxura). (Endemic to Indonesia.) 
Pig-tailed Snub-nosed Monkey (Simias concolor). (Endemic to Indonesia.) 
Proboscis Monkey (Nasalis larvatus).  
Sei Whale (Balaenoptera borealis). 
Sipora Flying Squirrel (Hylopetes sipora). 
Sulawesi Bear Rat (Paruromys ursinus). (Endemic to Indonesia.) 
Tiger (Panthera tigris). 
White-toothed Melomys (Coccymys albidens). (Endemic to Indonesia.) 
Vulnerable: 
Alor Mastiff Bat (Otomops johnstonei). (Endemic to Indonesia.) 
Asiatic Golden Cat (Catopuma temminckii). 
Babirusa (Babyrousa babyrussa). (Endemic to Indonesia.) 
Bare-backed Rousette ( Fruit Bat) (Rousettus spinalatus). 
Bay Cat (Catopuma badia). 
Biak Naked-backed Fruit Bat (Dobsonia emersa). (Endemic to Indonesia.) 
Biak Roundleaf Bat (Geelvinck Bay Leaf-nosed Bat) (Hipposideros papua). (Endemic to Indonesia.) 
Bismarck's Trumpet-eared Bat (Kerivoula myrella). 
Bonthain Rat (Rattus bontanus). (Endemic to Indonesia.) 
Brown-bearded Sheath-tailed Bat (Taphozous achates). (Endemic to Indonesia.) 
Celebes Long-nosed Squirrel (Hyosciurus heinrichi). (Endemic to Indonesia.) 
Clouded Leopard (Neofelis nebulosa). 
Crested Roundleaf Bat (Hipposideros inexpectatus). (Endemic to Indonesia.) 
D'Albertis Ringtail (Pseudochirops albertisii). 
Dark Tube-nosed Fruit Bat (Nyctimene celaeno). (Endemic to Indonesia.) 
Dhole (Cuon alpinus). 
Dingiso (Dendrolagus mbaiso). (Endemic to Indonesia.) 
Dollman's Spiny Rat (Maxomys dollmani). (Endemic to Indonesia.) 
Doria's Tree-kangaroo (Dendrolagus dorianus). 
Dugong (Dugong dugon). 
Dusky Pademelon (Thylogale brunii). 
Elegant Margareta Rat (Margaretamys elegans). (Endemic to Indonesia.) 
Eurasian Otter (Lutra lutra).  
Fishing Cat (Prionailurus viverrinus). 
Flat-headed Cat (Prionailurus planiceps). 
Flores Giant Rat (Papagomys armandvillei). (Endemic to Indonesia.) 
Fly River Leaf-nosed Bat (Hipposideros muscinus). 
Gaskell's False Serotine (Bat) (Hesperoptenus gaskelli). (Endemic to Indonesia.) 
Geelvink Bay Flying Fox (Pteropus pohlei). (Endemic to Indonesia.) 
Golden-bellied Tree Shrew (Tupaia chrysogaster). (Endemic to Indonesia.) 
Great-tailed Troik (Dactylopsila megalura). 
Greater Long-eared Bat (Nyctophilus timoriensis). 
Hairy-nosed Otter (Lutra sumatrana). (May be extinct here.) 
Halmahera Blossom Bat (Syconycteris carolinae). (Endemic to Indonesia.) 
Hoogerwerf's Rat (Rattus hoogerwerfi). (Endemic to Indonesia.) 
Humpback Whale (Megaptera novaeangliae). 
Javan Langur (Trachypithecus auratus). (Endemic to Indonesia.) 
Javan Mastiff Bat (Otomops formosus). (Endemic to Indonesia.) 
Javan Slit-faced Bat (Nycteris javanica). (Endemic to Indonesia.) 
Javan Tail-less Fruit Bat (Megaerops kusnotoi). (Endemic to Indonesia.) 
Jentink's Squirrel (Sundasciurus jentinki). 
Kei Myotis (Myotis stalkeri). (Endemic to Indonesia.) 
Kloss's Gibbon (Hylobates klossi). (Endemic to Indonesia.) 
Komodo (Rintja) Mouse (Komodomys rintjanus). (Endemic to Indonesia.) 
Lesser Ranee Mouse (Haeromys pusillus). 
Lesser Tube-nosed Bat (Nyctimene draconilla). 
Lesser Tube-nosed Fruit Bat (Nyctimene minutus). (Endemic to Indonesia.) 
Little Golden-mantled Flying Fox (Pteropus pumilus). 
Little Margareta Rat (Margaretamys parvus).(Endemic to Indonesia.) 
Little Soft-furred Rat (Rattus mollicomulus). (Endemic to Indonesia.) 
Long-tailed Shrew Rat (Tateomys macrocercus). (Endemic to Indonesia.)  
Lowland Long-nosed Squirrel (Hyosciurus ileile). (Endemic to Indonesia.) 
Mainland Serow (Capricornis sumatraensis). 
Malayan Porcupine (Hystrix brachyura). 
Malayan Tapir (Tapirus indicus). 
Marbled Cat (Pardofelis marmorata). 
Mentawai Flying Squirrel (Iomys sipora). (Endemic to Indonesia.) 
Mentawai Leaf Monkey (Presbytis potenziani). (Endemic to Indonesia.) 
Mentawai Long-tailed Giant Rat (Leopoldamys siporanus). (Endemic to Indonesia.) 
Mottled-tailed Shrew Mouse (Neohydromus fuscus).  
New Guinea Pademelon (Thylogale brownii). 
New Guinea Quoll (Dasyurus albopunctatus). 
New Guinea Sheath-tailed Bat (Emballonura furax).  
Obi Cuscus (Phalanger rothschildi). (Endemic to Indonesia.) 
Oriental Shrew (Crocidura orientalis). (Endemic to Indonesia.) 
Peleng Rat (Rattus pelurus). (Endemic to Indonesia.) 
Philippine Gray Flying Fox (Pteropus speciosus). 
Pig-tailed Macaque (Macaca nemestrina). 
Plush-coated Ringtail (Pseudochirops corinnae). 
Ranee Mouse (Haeromys margarettae). 
Salokko Rat (Taeromys arcuatus). (Endemic to Indonesia.)  
Secretive Dwarf Squirrel (Prosciurillus abstrusus). (Endemic to Indonesia.) 
Seram Fruit Bat (Pteropus ocularis). (Endemic to Indonesia.) 
Short-haired Water Rat (Paraleptomys wilhelmina). 
Short-headed Roundleaf Bat (Hipposideros breviceps). (Endemic to Indonesia.) 
Small-toothed Fruit Bat (Neopteryx frosti). (Endemic to Indonesia.) 
Smooth-coated Otter (Lutrogale perspicillata). (Previously listed as Lutra perspicillata.) 
Sperm Whale (Physeter catodon). 
Spiny Ceram Rat (Rattus feliceus). (Endemic to Indonesia.) 
Stein's Cuscus (Phalanger vestitus). 
Sula Rat (Rattus elaphinus). (Endemic to Indonesia.) 
Sulawesi Montane Rat (Taeromys hamatus). (Endemic to Indonesia.)  
Sulawesi Palm Civet (Macrogalidia musschenbroekii). (Endemic to Indonesia.) 
Sumatran Mastiff Bat (Mormopterus doriae). (Endemic to Indonesia.) 
Sunburned Rat (Rattus adustus). (Endemic to Indonesia.) 
Sunda Long-eared Bat (Nyctophilus heran). (Endemic to Indonesia.) 
Talaud Fruit Bat (Acerodon humilis). (Endemic to Indonesia.) 
Tate's Shrew Rat (Tateomys rhinogradoides). (Endemic to Indonesia.)  
Telefomin Roundleaf Bat (Hipposideros corynophyllus). 
Thin Shrew (Crocidura tenuis). (Endemic to Indonesia.) 
Watts's Spiny Rat (Maxomys wattsi). (Endemic to Indonesia.) 
Western Naked-backed Fruit Bat (Dobsonia peronii). (Endemic to Indonesia.) 
Western Shrew Mouse (Pseudohydromys occidentalis).

animalinfo.org

JAVAN TIGER


In the early 19th century Javan tigers (Panthera tigris sondaica) were so common over Java that in some areas the were considered nothing more than pests.

They were driven to the verge of extinction through a rapid increase in human population leading inevitably to a severe reduction in habitat. Forests were felled then converted for agricultural use. Along with this tigers were merciless hunted and poisoned, and they experienced growing competition for prey species with wild dogs and leopards.

Much of the hunting was carried out by natives, a surprising thing since they considered the tiger a reincarnation of their dead relatives.

Javan tiger reserves:

By 1940 the Javan tiger had been pushed into remote mountain ranges and forests. At this stage some small reserves were set up, but these were not large enough and prey species were too low.

Come the mid-1950s only 20-25 tigers remained on Java. Half of these were in the well-known Ujong Kulon Wildlife Reserve, but the 1960s saw all tigers eliminated from this area and also from Baluran National Park.

1972 and the Javan tiger count was down to a maximum of seven in the then newly-formed Meru Betiri Forest Reserve, and perhaps five elsewhere.

Meru Betiri was rugged and considered this tiger's last chance for survival. However, even as it was declared a reserve, the area was under attack by agricultural development. A 1979 census located the tracks of only three tigers. Substantiated evidence that this tiger is still alive has not been forthcoming since then.

The exact time of extinction remains unknown, but this was probably sometime in the 1980s.

Continued sightings of the Javan tiger:

Occasional reports still surface of a few tigers to be found in east Java where the forested areas account for almost thirty per cent of the land surface. Meru Betiri National Park, the least accessible area of the island, is located here and considered the most likely area for any remaining Javan tigers. This park is now coming under threat from three gold mining companies after the discovery of 80,000 tons of gold deposit within the locality.

Despite the continuing claims of sightings it is far more likely that, even with full protection and in reserve areas, the Javan tiger was unable to be saved. The 'tigers' are quite likely to be leopards seen from a distance.

At the present time the World Conservation Monitoring Centre lists this subspecies as having an 'outstanding query over status' rather than extinct, and some agencies are carrying out experiments using infrared activated remote cameras in an effort to photograph any tigers. Authorities are even prepared to initiate the move of several thousand natives should tiger protection require this.

But until concrete evidence can be produced (expert sightings, pug marks, photographic evidence, attacks on people and animals), the Javan tiger must be considered yet another subspecies which is probably lost to mankind.

the javan tiger

EMPTY FOREST SYNDROME

For many endangered species it is not the lack of suitable habitat that has imperiled them, but hunting. In a talk at a Smithsonian Symposium on tropical forests, Elizabeth Bennett of the Wildlife Conservation Society (WCS) outlined the perils for many species of the booming and illegal wildlife trade. She described pristine forests, which although providing perfect habitat for species, stood empty and quiet, drained by hunting for bushmeat, traditional medicine, the pet trade, and trophies.

"Hunting has long been known as a primary cause of wildlife species depletion in tropical forests," Bennett said. But in the last few decades the problem has increased exponentially. Bennett noted that between 1992 and 2002 trade in wildlife increased 75 percent and shows no sign of abating. Several trends had allowed such rapid growth in the wildlife trade: continuing rise in population, steady decrease in forests with remaining forests more accessible than ever, and the use of modern weapons in hunting. For example, in Cambodia hunters have begun using land mines to kill tigers.
Most important, Bennett emphasized, was the commercialization and globalization of the wildlife trade. Increasing demand for endangered species from countries like China has led to more people trekking into their forests for incomes. In addition, increasing wealth has allowed many more consumers to afford illegal items made from endangered species on the black market.

To give a picture of the scale of this underground trade, Bennett pointed a number of examples: in Ho Chi Minh City there are an estimated 1500 restaurants selling wildlife meat; in Jakarta, Indonesia, the Pramuka market sells 1.5 million sold birds annually; a recent seizure of two shipments of pangolins enroute to China 14 tons of scaly anteater from Sumatra and 23 tons from Vietnam. The shipment contained an estimated 7,000 animals -- no species can survive an onslaught like this for long. This has been borne out by Vietnam where 12 species of large animals have gone either gone extinct or are on the verge of doing so due largely to the wildlife trade.

The problem has become global. In Cameroon, so many of the large animals are gone that hunters have begun using rodent traps to catch the smaller mammals that remain. The island of Bioko has seen a loss of 90 percent of its biomass due to hunting, National Geographic covered the problem in its August issue of last year. Surveys of 100 sites in the Amazon show animal populations have diminished by 83 to 91 percent. Even reserves offer little protection; the island of Sulawesi’s reserves have experienced a 75 percent decline in black macaques, 90 percent decline in anoas, and a 95 percent decline of the bear cuscus.
China is the world’s largest importer wildlife products, including an insatiable demand for turtles, ivory, tigers, pangolins, and many other species used for food or medicine. Perhaps surprisingly the USA is the second largest importer—according to Bennett many tons of bushmeat arrives to the US from Africa every month and the US is large destination for the illegal pet trade.
Most of the species targeted by hunters are not able to recover fast enough to sustain the levels at which they are hunted. In tropical forests mammals are few and far between and their scarcity makes them vulnerable. Primates are “very vulnerable to overhunting” due to a slow breeding process, as are other species like elephants and tapirs, says Bennett. Animals that live in groups, like birds and primates, are also vulnerable since one population can be wiped out by a single hunter.

"The implications of all this for loss of ecosystem function are still not fully understood, although many studies show that tropical forests depleted of large vertebrates experience reduced seed dispersal, altered patterns of tree recruitment and shifts in the relative abundances of species,” Bennett told the media. "The loss of top predators and other 'keystone species' has a disproportionate impact on ecosystems and can result in dramatic biodiversity changes."

The disappearance of these species is also causing indigenous people to become “further marginalized” Bennett said. Having depended on these species as a vital protein source for centuries, indigenous groups can no longer sustainably hunt prey because the species have become so depleted.

When the forests are emptied, exploitation continues. Hunters either choose another species to hunt or proceed to another area to exploit. Bennett described the wildlife trade as boom and bust trade: a pristine area is a boom region until it is over exploited and goes bust when trade is forced elsewhere.

Despite the devastation trade is having on species, ecosystems, and local people, there is little political will and weak governance on the issue in most countries, says Bennett. Most reserves are too understaffed to have a noticeable impact on the trade, while staff members often receive little training and support to accomplish daunting jobs.
Aat much could still be done. In Cameroon WCS have established programs in an area granted a logging concession. Such areas are notorious for wildlife trade. Logging thins out the forest providing easy access for hunters and "logging companies frequently regard wild meat as a free subsidy to feed their workers." WCS has controlled the trade in Cameroon through education, development of alternative sources of protein, and law enforcement. Perhaps most effectively, WCS has worked with the railway in Cameroon to create regular inspections for animal products. The trade has lessened greatly since its main mode of transit is now under scrutiny.

“We actually know how to manage this,” Bennett concluded. “What we need to do is apply this more rapidly and widely across tropical world.”

mongabay.com

Program Aims to Protect Tigers -- and Their Prey

The Wildlife Conservation Society (WCS) on Thursday announced plans for what they are calling the Tigers Forever Initiative -- a new approach to conservation with a goal of increasing tiger numbers by 50 percent over the next 10 years across WCS tiger sites.

Alan Rabinowitz, director of the Science and Exploration Program at the Wildlife Conservation Society, says what makes this new approach different is that the WCS will be holding itself accountable for a significant increase in tiger numbers over a specific period of time.

In a dozen field sites, scientists will be focusing not only on the tigers but on the safety of their prey and the actions of their human neighbors. They'll work closely with local governments to gather more baseline data on tigers in some areas while increasing anti-poaching activities at other sites.

In a National Geographic Radio Expeditions interview, Rabinowitz notes that this kind of accountability is a new concept for conservationists.

"We're putting our reputations on the line and holding ourselves accountable that we can grow tiger numbers," he says. "At the same time, we have the knowledge, expertise and track record to accomplish this goal."

Minggu, 11 Januari 2009

PERMENHUT 56 TH 2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

NOMOR: P. 56 /Menhut-II/2006

TENTANG

PEDOMAN ZONASI TAMAN NASIONAL

MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang

: a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pasal 30 ayat (2)

menetapkan pengelolaan taman nasional didasarkan sistem zonasi yang

terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a di atas, maka perlu

ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Zonasi Taman

Nasional.

Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup;

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun2004 tentang Sumber Daya Air;

5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

8. Peraturan pemeriritah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam

dan Kawasan Pelestarian Alam;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; Peraturan

Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan

Kawasan Hutan;

10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan;

11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;

12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Balai Taman Nasional;

13. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6187 /Kpts-II/2002 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Baiai Konservasi Sumber Daya Alam,

14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 13/Menhut-II/2005 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Departernen Kehutanan;

Page 2

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN ZONASI

TAMAN NASIONAL.

BAB I

KETENTAUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan

rekreasi.

2. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi

zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data,

penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas,

dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat.

3. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan

menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

4. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun

fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi,

berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

5. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian

taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan

pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

6. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya,

yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan

lainnya.

7. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan

pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai

ketergantungan dengan sumber daya alam.

8. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan,

sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang

mengalami kerusakan.

9. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat

situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan

keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

10. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan

telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal

sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana

telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

11. Kelompok masyarakat adalah sekumpulan orang yang karena kondisi kesejarahan, ikatan

ekonomi, religi, sosial dan budaya yang hidup dan tinggal secara bersamasama dalam

wilayah tertentu.

Page 3

12. Para pihak (stakeholder) bagi taman nasional dapat terdiri dari masyarakat, lembaga

swadaya masyarakat, pemerintah daerah setempat, perguruan tinggi, serta pihak-pihak lain

yang berinteraksi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan konservasi,

serta mendapatkan manfaat dari keberadaan taman nasional tersebut.

13. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

15. Kepala Balai adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis yang memangku kawasan Taman

Nasional.

Bagian Kedua

Maksud dan Tujuan

Pasal 2

(1) Pedoman zonasi taman nasional dimaksudkan sebagai acuan bagi pengelola kawasan taman

nasional dalam melaksanakan penataan zona di kawasan taman nasional.

(2) Pedoman zonasi taman nasional bertujuan untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman

nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.

BAB II

JENIS, KRITERIA, FUNGSI ZONA DAN KEGIATAN

Bagian Kesatu

Jenis Zona

Pasal 3

(1) Zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:

a. Zona inti;

b. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan

c. Zona pemanfaatan;

d. Zona lain, antara lain:

1. Zona tradisional;

2. Zona rehabilitasi;

3. Zona religi, budaya dan sejarah;

4. Zona khusus.

(2) Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan

memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya.

Pasal 4

(1) Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan

zona pemanfaatan.

(2) Penentuan zona lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d pada setiap

kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai kondisi setempat.

(3) Masing-masing zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam setiap

kawasan taman nasional dapatlebih dari satu tergantung pada potensi kawasan, kondisi

kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional.

Page 4

Bagian Kedua

Kriteria Zona

Pasal 5

(1) Kriteria zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi:

a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

beserta ekosistemnya;

b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas

ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum

diganggu oleh manusia;

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum

diganggu manusia;

d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin

kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan

menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya

memerlukan upaya konservasi;

f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka

yang keberadaannya terancam punah;

g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik;

h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.

(2) Kriteria zona rimba sebagaimana dimaksuddalam Pasal 3 ayat (1) huruf b meliputi:

a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung

upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar;

b. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian

zona inti dan zona pemanfaatan;

c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.

(3) Kriteria zona pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c meliputi:

a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem

tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;

b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensl dan daya tarik untuk

dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

c. Kondisi Iingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan

pariwisata alam, penelitian dan pendidikan;

d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan

pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan;

e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.

(4) Kriteria zona tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d angka 1

meliputi:

a. Adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah diman-

faatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya;

b. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati tertentu yang

telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran

oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

(5) Kriteria zona rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf d angka 2 meliputi:

a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada

kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia;

Page 5

b. Adanya invasif spesies yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan;

c. Pemulihan kawaasn pada huruf a dan b sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5(lima)

tahun.

(6) Kriteria zona religi, budaya dan sejarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf

d angka 3 meliputi:

a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh

masyarakat;

b. Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang mapun tidak

dilindungi undang-undang.

(7) Kriteria zona khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d angka 4 meliputi:

a. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal

sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

b. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan

listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

c. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.

Bagian Ketiga

Fungsi Zona

Pasal 6

Peruntukan masing-masing zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:

a. Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta

habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis

tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

b. Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan

lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas,

habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

c. Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan,

pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan

penunjang budidaya.

d. Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat

setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya.

e. Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau

mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

f. Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya,

budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan

dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.

g. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah

tersebut sebelum ditunjukjditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang

kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi,

fasilitas transportasi dan Iistrik.

Page 6

Bagian Keempat

Kegiatan

Pasal 7

(1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau penunjang

budidaya;

d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permamen dan terbatas untuk kegiatan

penelitian dan pengelolaan.

(2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. lnventarisasi dan monitoring sumberdaya alam, hayati dengan ekosistemnya;

c. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan

dan kegiatan penunjang budidaya;

d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan

liar;

e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan,

dan wisata alam terbatas.

(3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;

d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;

e. Pembinaan habitat dan populasi;

f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan;

g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan

pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan.

(4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;

c. Pembinaan habitat dan populasi;

d. Penelitian dan pengembangan;

e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan

ketentuan yang berlaku.

(5) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi;

c. Penyelenggaraan upacara adat;

d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual

keagamaan/adat yang ada.

(6) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat dan;

c. Rehabilitasi;

d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.

Page 7

Pasal 8

Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dJlakukan berdasarkan rencana

pengelolaan taman nasional.

BAB III

TATA CARA PENATAAN ZONASI

Pasal 9

Zonasi meliputi kegiatan:

a. Persiapan;

b. Pengumpulan dan analfsis data;

c. penyusunan draft rancangan zonasi;

d. Konsuttasi publik;

e. Pengiriman dokumen;

f. Tata batas;

g. Penetapan.

Pasal 10

(1) Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi:

a. Pembentukan Tim Kerja;

b. penyusunan rencana kerja.

(2) Tim Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurur a dibentuk oleh dan bertanggung jawab

kepada Kepala Balai.

(3) Tim Kerja sebagimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota.

(4) Anggota Tim Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari :

a. Staf Balai Taman Nasional;

b. Unsur Pemerintah Daerah;

c. Lembaga Swadaya Masyarakat;

d. Kelompok Masyarakat; dan

e. Mitra kerja.

(5) Penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. kerangka pemikiran yang berisi jenis dan tahapan kegiatan;

b. metoda pengumpulan data dan analisa serta tata waktu pelaksanaan; dan

c. perencanaan anggaran.

(6) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun oleh Tim Kerja dan disahkan

oleh Kepala Balai.

Pasal 11

Pengumpulan dan analisa data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi :

a. keanekaragaman hayati, nilai arkeologi, nilai obyek daya tarik wisata, nilai potensi jasa

lingkungan;

b. data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, penggunaan lahan;

c. kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat;

d. oseanografi untuk wilayah perairan.

Page 8

Pasal 12

Penyusunan draft rancangan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c meliputi :

a. perumusan rancangan zonasi yang dituangkan dalam peta;

b. uraian potensi global;

c. batas geografis zona;

d. kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada masing-masing zona.

Pasal 13

Konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d meliputi:

a. Pembahasan konsep zonasi yang telah disiapkan bersama para pihak untuk mendapatkan

tanggapan penyempurnaannya.

b. Kesepakatan konsultasi publik dituangkan dalam Berita Acara dan peta hasil kesepakatan

yang ditanda tangani oleh wakil-wakil para pihak dan wakil Balai.

c. Hasil kesepakatan tersebut merupakan bahan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan

rekomendasi penataan zona.

Pasal 14

(1) Pengiriman Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, berisikan :

a. Rekomendasi Pemerintah Daerah; dan

b. Buku Data dan Analisa Dalam Rangka Zonasi.

(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dikirim oleh Kepala Balai kepada Direktur

Teknis untuk mendapatkan persetujuan.

(3) Setelah mendapat persetujuan dari Direktur Teknis, Kepala Balai melakukan tata batas zonasi

kawasan taman nasional.

Pasal 15

Tata batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f meliputi:

a. pemancangan patok batas;

b. penyusunan Berita Acara pemancangan patok batas.

Pasal16

(1) Kegiatan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf 9 meliputi:

a. Penandatanganan Berita Acara yang Telah mendapat persetujuan Direktur; dan

b. Penandatangan Berita Acara Tata Batas;

(2) Kepala Balai menetapkan draft final penataan zonasi kawasan taman nasional dan

menyampaikan kepada Direktur Teknis untuk mendapat pengesahan Direktur Jenderal.

Pasal 17

Draft final penataan zona dituangkan dalam Buku Penataan Zona dengan lampiran peta zonasi

dengan sistematika sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

Pasal 18

(1) Draft final penataan zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan oleh Kepala

Balai kepada Direktur Teknis dan instansi terkait.

(2) Direktorat Teknis melakukan penilaian dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur Jenderal

untuk mendapatkan pengesahan.

Page 9

(3) Dalam hal terdapat kekurangan kelengkapan data, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu

15 hari kerja, Direktorat Teknis mengembalikan draft penataan zona kepada Kepala Balai

untuk disempurnakan.

(4) Untuk melakukan penyempurnaan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)

hari terhitung mulai diterimanya berkas penataan zona Kepala Balai harus mengirimkan

kembali hasil perbaikan tersebut Kepada Direktur Jenderal.

(5) Zona taman nasional yang sudah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

disampaikan kepada:

a. Eselon I Iingkup Departemen Kehutanan.

b. Eselon II Iingkup Direktorat Jenderal PHKA.

c. Gubernur/Bupati/Walikota setempat.

(6) Zonasi yang telah disahkan disosialisasikan oleh Kepala Balai kepada pihak terkait.

BAB IV

PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 19

(1) Dalam rangka zonasi taman nasional, Pemerintah menumbuh kembangkan peranserta

masyarakat.

(2) Peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

antara lain:

a. Memberi saran, informasi dan pertimbangan;

b. Memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi;

c. Melakukan pengawasan kegiatan zonasi;

d. Ikut menjaga dan memelihara zonasi.

(3) Pelaksanaan peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

EVALUASI

Pasal 20

(1) Evaluasi zonasi taman nasional dilakukan sebagai bahan peninjauan ulang untuk usulan

perubahan zonasi yang diperlukan sesuai dengan kepentingan pengelolaan.

(2) Evaluasi zonasi taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara

periodik oleh Kepala Balai paling lama 3 (tiga) tahun.

(3) Dalam kondisi tertentu evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan pengelolaan.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

Zonasi taman nasional yang telah ditetapkan dan telah disusun sebelum berlakunya Peraturan

Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku.

BAB VII

PENUTUP

Pasal 22

Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Page 10

Ditetapkan di : JAKARTA

Pada tanggal : 29 Agustus 2006.

MENTERI KEHUTANAN,

Ttd.

H.M.S. KABAN, SE., M.Si.

Salinan Peraturan Menteri ini

disampaikan kepada Yth. :

1. Direktur Jenderal/Kepala Badan lingkup Departemen Kehutanan.

2. Gubernur Provinsi, di seluruh Indonesia.

3. Bupati/Walikota, di seluruh Indonesia.

4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi,di seluruh Indonesia.

5. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, di seluruh Indonesia.

6. Kepala Balai Taman Nasional di seluruh Indonesia.

7. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia.

Page 11

LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

NOMOR : P. 56 /Menhut-II/2006

TANGGAL : 29 Agustus 2006.

TENTANG PEDOMAN ZONASI TAMAN NASIONAL

A. Penyajian Buku Penataan Zona Berisi:

KATA PENGANTAR

LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN

I.

PENDAHULUAN

II. DESKRIPSI MASING-MASING ZONA

A. Zona Inti

B. Zona Rimba

C. Zona Pemanfaatan

D. Zona Lain

(dalam masing-masing zona dijelaskan Lokasi, Luas dan Letak Geografis; Potensi

sumberdaya alam dan obyek yang dapat dimanfaatkan untuk wisata alam dan

pendidikan konservasi untuk selain zona inti, Kegiatan Yang Dapat Dilakukan)

III. PENUTUP

IV. LAMPIRAN

Lampiran berupa peta digitasi zonasi dengan ketentuan:

a. Kawasan taman nasional yang luasnya kurang dari 50.000 hektar menggunakan peta

skala 1:100.000

b. Kawasan taman nasional yang luasnya antara 50.000-250.000 hektar menggunakan peta

skala 1:250.000

c. Kawasan taman nasional yang luasnya lebih dari 250.000 hektar menggunakan peta

skala 1:500.000

d. Peta sebagaimana huruf a, huruf b dan huruf c memuat legenda, penyusun, penilai dan

pengesahan.

Pembuatan peta disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

B. Warna dan kode masing-masing zona dalam peta:

a. zona inti berwarna merah dengan kode ZI.

b. zona rimba berwarna kuning dengan kode ZRi atau zona perlindungan bahari berwarna

biru tua dengan kode ZB.

c. zona pemanfaatan berwarna hijau dengan kode ZP.

d. zona tradisional berwarna coklat tua dengan kode ZTr.

e. zona rehabilitasi berwarna biru muda dengan kode Zre.

f. zona religi budaya dan sejarah berwarna ungu tua dengan kode ZBS

g. zona khusus berwarna abu-abu tua dengan kode ZKh

Page 12

C. Tata Batas Zonasi

a. Zonasi yang telah tetapkan oleh Direktur Teknis untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan

penataan dan pemancangan batas zonasi oleh Balai yang bersangkutan, khusus untuk

penataan batas wilayah perairan laut Balai dapat berkoordinasi dengan Dinas

Hidrooseanografi TNI AL dan Lanal setempat.

b. Penandaan Batas Zona

1. Untuk taman nasional di wilayah daratan:

1) Pemasangan tanda batas zona pada garis-garis batas zonasi ditempatkan pada

setiap jarak 1 km, pada titik-titik perpotongan batas dan titik-titik persimpangan

dengan jalan trail dan jalan mobil.

2) Tanda batas zonasi berupa plat seng, papan kayu atau bahan lain dengan ukuran 30

cm x 50 cm yang berisi informasi tentang nomor tanda batas, titik koordinat tanda

batas, jenis zona.

3) pemasangan tanda batas zonasi taman nasional pada sisi pohon atau tiang yang

mengarah ke dalam zona yang dimaksud. Sebagai contoh, bila zona inti berbatasan

dengan zona rimba, maka tanda batas zona inti dipasang menghadap kearah zona

inti, dan disisi lain batang pohon atau tiang tersebut dipasang/dipaku tanda batas

zona rimba menghadap ke arah zona rimba (contoh gambar terlampir).

4) Penulisan inisial/kode pada tanda batas zona sebagai berikut:

a) Zona Inti

Plat seng diberi cat dasar warna merah dengan tulisan warna putih

Inisial/kode yang digunakan ZI

b) Zona Rimba

Plat seng diberi cat dasar warna kuning dengan tulisan warna hitam

Inisial/kode yang digunakan ZRi

c) Zona Pemanfaatan

Plat seng diberi cat dasar warna hijau dengan tulisan warna kuning

Inisial/kode yang digunakan ZP

d) Zona Tradisional

Plat seng diberi cat dasar warna coklat tua dengan tulisan warna putih

Inisialjkode yang digunakan ZTr

e) Zona Rehabilitasi

Plat seng diberi cat dasar warna biru muda dengan tulisan warna hitam

Inisial/kode yang digunakan Zre

Page 13

f) Zona Religi, Budaya dan Sejarah

Plat seng diberi cat dasar warna ungu tua dengan tulisan warna putih

Inisial/kode yang digunakan ZBS

g) Zona Khusus

Plat seng diberi cat dasar warna abu-abu tua dengan tulisan warna hitam

Inisial/kode yang digunakan ZKh

5) Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dengan hasil pengukuran dan

pada jarak tertentu.

6) Pemeliharaan batas zona dilakukan minimal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau

berdasarkan perubahan kondisi kawasan dan kebutuhan pengelolaan.

2. Untuk taman nasional di wilayah perairan laut :

1) Untuk kawasan taman nasional perairan laut, tata batas dapat berupa :

a. Memasang papan pengumunan pada lokasi zonasi dengan mencantumkan batas

wilayah zonasi pada papan pengumuman tersebut serta di Desa atau Kecamatan

terdekat lokasi

b. Mencantumkan tanda batas zonasi (letak geografis zonasi) pada peta laut dengan

simbul sesuai dengan Standart Hidrografi Internasional dan selanjutnya

dilaporkan pada Dinas Hidrooseanografi, TNI AL agar dicantumkan pada "Berita

Pelaut Indonesia" yang disebarluaskan di pelabuhan-pelabuhan.

c. Pemasangan tanda batas di lapangan berupa "Mooring Buoys" yang diberi warna

dan nomor.

2) Pemasangan tanda batas zona berupa mooring bouys hanya dimungkinkan

diletakkan pada perairan dengah kedalaman kurang dari 5 (lima) meter yang

jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.

3) Posisi peletakan mooring buoys harus menggunakan GPS (Geografical Position

System) sehingga dapat tepat letak koordinatnya yang selanjutnya sebagai bahan

informasi untuk dicantumkan pada peta laut.

4) Tanda batas berupa mooring buoys dapat perupa pelapung seperti pada contoh di

bawah ini:

Bahan dari plastik,

Ukuran diameter 15 inci

Bentuk bundar

Sabuk biru keliling mooring buoys

mengambarkan peruntukan masing

masing zonasi

Mooring buoys diberi nomor berurutan

Bahan dari plastik

Ukuran diameter 12 inci

Bentuk ionjong

Sabuk biru keliling mooring buoys

mengambarkan peruntukan masing

masing zonasi

Mooring buoys diberi nomor berurutan

Page 14

Bahan dari plastik,

Ukuran diameter atas 10 inci, diameter bawah 15 inci

Bentuk kerucut

Sabuk biru keliling mooring buoys mengambarkan

peruntukan masing -masing zonasi

Mooring buoys diberi nomor berurutan

Salah satu bentuk jangkar yang diletakan di dasar perairan sebagai pengikat

Mooring buoys agar selalu berada pada tempatnya (tidak hanyut)

Bentuk peletakan mooring buoys pada zona pemanfaatan dan zona pemukiman yang

memiliki fungsi ganda selain sebagai penantaan batas zonasi juga berfungsi sebagai

tempat tambat perahu agar tidak membuang jangkar perahu di dasar perairan.

Kebutuhan mooring buoys sesuai dengan kebutuhan di zona tersebut.

5) Penulisan inisial/kode pada tanda batas zona sebagai berikut :

a) Zona Inti

Mooring Buoys diberi cat warna merah keliling selebar 10 cm.

Tulisan berwarna hitam

Inisial/kode yang digunakan ZI, dengan nomor berurutan

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

b) Zona Perlindungan Bahari

Mooring Buoys diberi cat warna biru tua keliling selebar 10 cm.

Tulisan warna hitam

Page 15

Inisial/kode yang digunakan ZB, dengan nomor berurutan

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

c) Zona Pemanfaatan

Mooring Buoys diberi cat warna hijau tua keliling selebar 10 cm.

Tulisan warna hitam

Pada bagian atas mooring buoys di beri tambahan ring sebagai tambat perahu

Inisial/kode yang digunakan ZP

Mooring buoys berfungsi pula sebagai tempat tambat perahu wisatawan

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

d) Zona Tradisional

Mooring Buoys diberi cat warna coklat tua keliling selebar 10 cm.

Tulisan berwarna hitam

Pada bagian atas mooring buoys di beri tambahan ring sebagai tambat perahu

Inisial/kode yang digunakan ZTr

Mooring buoys berfungsi pula sebagai tempat tambat perahu masyarakat

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

e) Zona khusus

Mooring Buoys diberi cat warna abu-abu tua keliling selebar 10 cm.

Tulisan berwarna hitam

Inisial/kode yang digunakan ZKh

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

f) Zona Rehabilitasi

Mooring Buoys diberi cat dasar warna biru muda keliling selebar 10 cm.

Tulisan berwarna hitam

Inisial/kode yang digunakan Zre

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

g) Zona Religi, Budaya dan Sejarah

Plat seng diberi cat warna ungu tua keliling selebar 10 cm.

Tulisan warna hitam

Inisial/kode yang digunakan ZBS

Peletakan kode dan nomor disesuaikan dengan bentuk mooring buoys.

MENTERI KEHUTANAN,

Ttd.

H.M.S. KABAN, SE., M.Si.





http://frankyzamzani.files.wordpress.com/2007/06/permenhut_56_2006-ttg-pedoman-zonasi-tn.pdf