WELCOME TO FOREST CONSERVATION

SAVE OUR FOREST
WILL
SAVE OUR WORLD

SAVE OUR FOREST
FOR
A BETTER FUTURE

Minggu, 22 Februari 2009

"Gerombolan Si Berat" Kehilangan Habitat

kerusakan akibat serangan gajah
Kamis, 19 Februari 2009 | 12:02 WIB

Sabtu (7/2) pukul 23.30, keluarga Teguh Saputra (38) tengah lelap di pondok di tengah kebun sawit milik Juachir di Desa Balai Makam, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau (140 km dari Pekanbaru). Tiba-tiba, pondok bergoyang keras seperti kena gempa. Dinding pondok yang terbuat dari kayu berlepasan. Dari dinding yang jebol muncul dua ekor gajah berukuran besar.

Istri Teguh, Susanti, dan tiga anaknya, Dede Karmansyah (6), Hari Mukti (4,5), dan Alan Ardiansyah (1,5), menjerit ketakutan. Teguh dan Susanti buru-buru menggendong ketiga anak serta berlari dari pondok.

Kedua gajah itu lantas mengambil makanan di dapur. Puluhan ekor gajah lain memakan tunas kelapa sawit di kebun.

Tidak jauh dari pondok ada dua pemuda yang sedang menjaga ekskavator untuk membuka kebun sawit. Saat diberi tahu Teguh tentang keberadaan gajah, mereka segera menghidupkan alat berat itu untuk menakut-nakuti gajah. Tak berapa lama kawanan gajah yang berjumlah tak kurang dari 30 ekor itu pergi beriringan menuju hutan yang berjarak sekitar dua kilometer dari kebun.

Senin (9/2) menjelang magrib, saat Kompas bertandang, pondok Teguh sudah berdiri meski masih miring. ”Tetangga bergotong royong untuk mendirikan kembali. Kami sudah menginap lagi di sini,” tutur Teguh sambil membuat api unggun di depan pondoknya agar gajah tidak datang lagi.

Teguh masih beruntung. Menurut Saragih (65), warga Desa Balai Makam, Ronald Silalahi (43), pada 19 Juli 2008, mati diinjak-injak gajah.

Silalahi bertani sayur di belakang perumahan Bukit Asri Tambusai III, Desa Balai Makam (10 km dari rumah Teguh).

Ceritanya, tanggal 18 Juli malam, kebun sayur Silalahi disatroni gajah dan hampir setengah tanaman sayurnya rusak. Keesokan harinya, kawanan gajah kembali datang. Silalahi langsung gelap mata. Dia membawa gergaji rantai untuk melawan kawanan gajah itu.

Saat gergaji dihidupkan, sebagian gajah takut dan menjauh. Namun, gajah yang paling besar justru mendekat. Naas, ketika Silalahi mundur, kakinya tersandung kayu dan terjatuh. Gajah besar itu pun langsung menginjak-injak tubuh Silalahi sampai remuk.

Akhir 2008, warga lain, Ruli Nasir, tewas diinjak gajah saat naik motor dan berjumpa kawanan gajah yang melintas jalan desa.

Sebaliknya, Juli 2008, seekor gajah tewas dibantai warga di Desa Pungut, Kecamatan Pinggir (sekitar 20 km dari Desa Balai Makam).

Upaya relokasi

Setelah kematian Silalahi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau menurunkan tiga ekor gajah jinak untuk memindahkan kawanan gajah liar ke hutan Muara Basung, sekitar 40 km dari Desa Balai Makam.

Namun, awal tahun 2009, ”gerombolan si berat” itu kembali lagi. Kali ini mereka mengunjungi pondok dan kebun Teguh.

Jika diperhatikan, lokasi pondok dan kebun tempat Teguh tinggal maupun lokasi kebun Silalahi merupakan bekas rimba raya yang dulu menjadi habitat gajah.

Pembukaan kebun sawit telah menggusur kawanan gajah dari tempat tinggal dan sumber makanan mereka. Saat ini, sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan pohon sawit. Hutan lindung yang tersisa sangat tidak memadai dan terus dirambah manusia.

BKSDA Riau sudah angkat tangan dalam masalah penanganan gajah. Satu-satunya jalan adalah merelokasi gajah ke hutan lindung. Persoalannya, hutan lindung yang ada tidak cukup untuk menampung para gajah itu.

Satu-satunya kemungkinan relokasi adalah ke areal rencana perluasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan yang berjarak sekitar 200 km dari Desa Balai Makam.

Masalahnya, deklarasi perluasan TNTN belum pasti. Selain itu, belum tentu Balai TNTN bersedia menampung gajah-gajah itu.

Suaka margasatwa

Di Kabupaten Bengkalis sebenarnya ada lokasi penampungan gajah, yaitu Suaka Margasatwa Balai Raja. Namun, akibat tidak ada perhatian dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Riau, maupun Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Suaka Margasatwa Balai Raja yang dulu luasnya 4.800 hektar, kini tinggal semak belukar seluas belasan hektar saja. Sebagian besar lahan suaka margasatwa sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Kalau sudah begini, siapakah yang salah? Manusia atau gajah? (Syahnan Rangkuti) *


kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar